Kapolri Cabut Larangan Peliputan yang Bermuatan Kekerasan

Lingkarpena.id, Jakarta – Kapolri akhirnya mencabut surat telegram No ST/750/HUM.34.5/2021 tanggal 5-4-2021. Surat telegram tersebut terkait larangan pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik.

Sebelumnya surat telegram yang ditujukan kepada seluruh Kabid Humas Polda tersebut sempat viral di beberapa media termasuk media sosial menuai banyak protes dan kritikan terutama dari kalangan pers dan aktivis Hak Azasi Manusia (HAM).

Melalui Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Arif Zulkifli, Dewan Pers sebelumnya meminta penjelasan kepada Kapolri tentang surat tersebut.

“Kapolri dan Humas Mabes Polri harus menjelaskan lebih jauh tentang yang dimaksud dengan telegram ini,” ujar Arif kepada wartawan, Selasa (6/4/2021).

Baca juga:  Tinjau Pelabuhan Merak, Kapolri: Pastikan Prokes Agar Tak Ada Lonjakan Pasca Nataru 

Baca juga:  Porwanas PWI Tetap Berlangsung Tahun 2021

Selain itu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ikut menyoroti keputusan Kapolri tersebut. Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan “Kalau melarang-larang media memberitakan arogansi polisi, justru membuat publik semakin tak puas. Itu mengingat polisi semakin sentralistik dalam kerja-kerjanya,” tuturnya.

Selang sehari telegram tersebut Selasa, (06/04/2021) Kapolri secara resmi mengeluarkan pencabutan melalui telegram bernomor : ST/759//HUM.34.5/2021.

Menanggapi sikap Kapolri tersebut Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Kamsul Hasan menilai bahwa referensi yang menjadi pertimbangan hukum telegram 750 menurutnya tidak tepat yaitu UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Lalu Kamsul menambahkan pasal 17 Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tentang informasi yang dikecualikan, sifatnya tidak atau belum final. Keputusan atau penetapan ajudikasi Komisi Informasi bahwa sebuah informasi tidak boleh disiarkan masih bisa dilakukan keberatan atau gugatan ke pengadilan. Putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap lah yang menentukan sebuah informasi yang disengketakan bersifat rahasia tidak boleh dipublikasikan atau malah informasi yang boleh dibuka ke publik.

Baca juga:  PT IKN Dilaunching: Siap Dukung Akselerasi Pembangunan Ibu Kota Nusantara

Baca juga:  Ketua PWI Kabupaten Sukabumi Kecam Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Nurhadi

Menurutnya Peraturan KPI berupa P3 SPS hanya berlaku untuk lembaga penyiaran terestrial yang menggunakan frekuensi publik. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pelaksanaan sanksinya setelah melihat tayangan apakah ada pasal yang dilanggar atau tidak (seperti kekerasan pada waktu tayang anak).

Baca juga:  Candi Brobudur Resmi Miliki Sertifikat

“Dengan dicabut telegram ST 750 dengan ST 759 berarti mengembalikan penyiaran kepada fungsi yang diatur oleh UU Penyiaran,” ujar Kamsul Hasan.

Ia menilai bila polisi merasa keberatan atas isi siaran baik jurnalistik maupun non jurnalistik silakan gunakan prosedur UU Penyiaran, dengan cara melaporkan pelanggaran atas P3 SPS ke KPI sesuai Pasal 52 UU Penyiaran mengenai Peran Serta Masyarakat dan KPI akan memberikan sanksi sesuai kewenangan.

Akan tetapi bila menyangkut pelanggaran Pasal 36 ayat (5) dan atau ayat (6) malah polisi bisa melaporkan ke polisi sebagai tindak pidana.

 

 

Reporter: Dharmawan Hadi

Redaktur: Budi Darmawan

Pos terkait