Lingkarpena.id, SUKABUMI – Badan Legislasi DPR dan pemerintah telah menyetujui Rancangan Undang – Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker), Sabtu (03/10/2020) lalu. Selanjutnya Beleid Omnibus Law tersebut akan disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 8 Oktober 2020 pekan depan.
Sebanyak tujuh fraksi yang setuju untuk melanjutkan pembahasan Beleid Omnibus Law itu, antara lain Fraksi PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NasDem, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara dua partai lainnya, yakni PKS dan Demokrat menyatakan menolak.
Menanggapi hal itu, Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi Raya, Anggi Fauzi mengatakan, sejak awal RUU Cipta Kerja memang diarahkan untuk memperkuat perusahaan dan investor skala besar.
Baca juga: Banyak Kejanggalan, PMII Desak DPRD Bentuk Pansus Covid-19
Ia menilai dan menyayangkan proses perumusannya tertutup, tergesa-gesa, dan mengabaikan prinsip kehati-hatian (prudent). Apalagi terkesan dalam perumusan perubahan ratusan pasal dari macam-macam UU tanpa memperhitungkan dampak sosial, ekonomi, politik, budaya yang pasti muncul.
“RUU Cipta Kerja terkait agraria yang akan membahayakan petani-petani di Indonesia khususnya di Sukabumi, menghambat realisasi reforma agraria dan memperparah konflik agraria struktural di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai dan dikritisi bersama,” kata Anggi kepada Lingkarpena.id, Senin (5/10/2020).
Ia menegaskan RUU Cipta Kerja tersebut perlu dikritisi, karena beberapa alasan. Pertama, adanya substansi kontroversial RUU Pertanahan. Antara lain, Hak Pengelolaan (HPL) sebagai penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN), keistimewaan Hak Guna Usaha (HGU), dan sanksi bagi pengiasaan tanah dengan status tanah terlantar dihapuskan, lalu agenda pembentukan bank tanah dan penyimpangan reforma agraria, masalah hak milik sarusun untuk investor asing.
Baca juga: LKNU Sukabumi Dorong Perwal Eliminasi TBC
“Kedua, RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia. Ketiga, RUU Cipta Kerja mempermudah perampasan, penggusuran, dan pelepasan hak atas tanah atas nama pengadaan lahan untuk kepentingan infrastruktur dan bisnis,” jelasnya.