Mencari Solusi Untuk Mensejahterakan Penyadap Nira Sukabumi Selatan

Inilah aktifitas penyadap nira (kelapa) warga sukabumi selatan.| Foto: antara

LINGKARPENA.ID | Gula merah merupakan salah satu komoditas unggulan di wilayah selatan Kabupaten Sukabumi. Kontribusi penyadap nira pada PAD cukup lumayan besar. Penyadap yang ada di Pajampangan diperkirakan mencapai 20 ribu orang.

Jika per orang saja dapat menghasilkan sedikitnya 5 kilogram per hari, bisa dihitung berapa yang disumbangkan para penyadap nira untuk PAD Kabupaten Sukabumi.

Profesi penyadap nira dimata pemerintah selama ini terkesan terabaikan. Bayangkan, untuk jenis pekerjaan lainnya, misalnya petani, atau nelayan, pemerintah seolah memberi ruang. Tetapi untuk penyadap nira seakan tidak diakui sebagai suatu profesi.

Misal, Petani dengan Gapoktan, Nelayan dengan HSNI nya, sementara penyadap nira? Apakah karena pekerjaan sebagai penyadap tidak masuk dalam kategori jenis pekerjaan baku?

Terlepas dari apapun alasannya, penyadap nira wajib mendapatkan akuan dan harus diperlakukan sebagai sebuah ladang pekerjaan, dimana para pelakunya wajib sejahtera dan mendapat kesejahteraan yang seimbang.

Pekerjaan menyadap nira bukan cuma profesi ecek ecek. Perlu keberanian dan memang berisiko tinggi. Penyadap nira selain sebagai pahlawan bagi keluarga, juga sebagai penunjang PAD bagi daerahnya.

Baca juga:  Google Asia Pacific Mengingatkan Pemerintah Indonesia Soal Peraturan Presiden Joko Widodo Terkait Masa Depan Media

Perhatian pemerintah sangat wajib diberikan kepada para penyadap nira. Mereka harus segera dilirik dan dikasih solusi positif supaya mereka merasakan kalau pekerjaannya itu “dihargai”.

Menjadi seorang penyadap nira jelas bukanlah sebagai cita cita. Itu dipilih karena tak ada pilihan lain. Profesi berisiko tingkat tinggi ini seolah pilihan akhir ketimbang nganggur. Celakanya lagi tak jarang para penyadap ini menjadi korban ulah tengkulak nakal.

Kondisi dilapangan, umumnya para penyadap menjadi korban sistem ‘Borsom’ atau pengepul. Dan pola transaksi seperti itu sudah membudaya. Disini pemerintah harus hadir. Sebab, apapun alasannya pola Borsom sudah mencederai nilai ekonomi sehat yang saling menguntungkan.

Sebagai gambaran, biasanya seorang penyadap akan terlebih dahulu meminjam sejumlah uang kepada tengkulak dan dibayar secara angsur dengan cara menyetor gula merah. Untuk harganya sendiri dibawah standar. Jika menjual langsung, harga gula merah sekarang Rp 17 ribu sampai 18 ribu perkilo gram. Tapi untuk sistim Borsom hanya dikisaran Rp 14 ribu, itu paling tinggi.

Baca juga:  Kisah Mistis dan Heroik Dibalik Objek Wisata di Pajampangan

Para penyadap yang sudah terjerat pola transaksi Borsom akan sulit keluar. Kecuali punya dana talang untuk menutup semua hutangnya kepada tengkulak. Karenanya untuk lepas dari jeratan itu tak sedikit keluarga tukang sadap berhubungan dengan pemberi pinjaman uang dengan bungan tinggi.

Contohnya bank keliling atau bank emok. Kondisi itu jelas bukan solusi bagi mereka. Cara tersebut hanya memindahkan piutang, yang semula ke tengkulak, lalu pindah ke “bank keliling”.

Melihat fenomena itu disini pemerintah harus hadir memberi solusi terbaik untuk mensejahterakan mereka (penyadap Nira/Kelapa). Sebenarnya banyak cara untuk mengangkat dan merubah sistem bagi nasib penyadap.

Seperti dibuatkan Koperasi penyadap atau KUBE mungkin ini salah satu pola yang perlu dicoba untuk mensejahterakan mereka, termasuk menghapus sistem Borsom.

Merubah budaya Borsom tak semudah membalikan telapak tangan dan perlu proses panjang. Namun untuk merubah itu tentunya diperlukan ada campur tangan dari pemerintah daerah.

Baca juga:  Aliansi Mahasiswa Ancam Demo Besar-besaran Tolak Penundaan Pemilu dan Turunkan Jokowi Mewakili siapa?

Nasib Untung Rugi

Angka kecelakaan pada profesi penyadap nira sendiri cukup tinggi. Setidaknya setiap hari para penyadap nira ini bertaruh nyawa. Jika ada diantara mereka yang mengalami kecelakaan saat menyadap nira (kalau terjatuh) meninggal dunia atau lumpuh.

Nah, pertanyaannya apakah hutang mereka terhadap tengkulak bisa terbebaskan jika ada yang mengalami kecelakaan lalu meninggal dunia? Jawabannya jelas itu tidak! Keluarga tetap harus membayar hutang-hutang mereka.

Kehidupan para penyadap kebanyakan mereka rata-rata tinggal di saung sadap. Mereka memilih meninggalkan kampung dan rumahnya demi pekerjaan. Tinggal di saung sadap tidak ada air bersih, WC, juga sumber air bersih untuk mandi dan minum.

Bahkan untuk tempat tidur mereka sangat tidak layak. Kira-kira sehatkah mereka dengan kondisi seperti itu? Malah tidak sedikit dari mereka yang membawa balita. Pemerintah harus mencarikan solusi untuk kehidupan para penyadap nira Sukabumi Selatan ini.

 

Pos terkait