Oleh : Lukman A Salendra
LINGKARPENA.ID – Setiap Jum’at terakhir bulan Ramadan secara rutin dan konsisten diperingati sebagai hari AL-QUDS INTERNASIONAL. Hari AL-QUDS INTERNASIONAL merupakan momen di mana umat manusia yang peduli terhadap nasib bangsa Palestina yang selama 75 tahun masih terjajah dan tertindas, kudu bersuara. Suara batin kemanusiaan yang diwujudkan dalam sebentuk aksi, doa dan empati. Bukan hanya umat Islam karena ini bukan persoalan umat Islam semata melainkan persoalan kemanusiaan seluruh elemen negara-bangsa yang peduli, bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan dari dunia ini.
Al-QUDS INTERNASIONAL pada Ramadan (bulan puasa) tahun 2022 ini seperti pada tahun-tahun sebelumnya diisi oleh aksi turun ke jalan “AKSI DAMAI BELA PALESTINA”, dll. Hanya pada saat pandemi Covid-19 aksi bela Palestina lebih banyak disuarakan lewat media sosial.
Di belahan muka bumi ini, manusia yang memiliki rasa solidaritas terkait nasib kemanusiaan sejatinya harus bersuara lantang menentang dan menyerukan perlawanan atas kebrutalan Zionis Israel dan antek-anteknya. Betapa tidak, rezim Israel terus-menerus melancarkan aksi kebrutalannya. Bahkan dalam 4 bulan terakhir ini 47 orang Palestina dibunuh sebagaimana laporan Lembaga HAM Euro -Mediterranean Human Rights Monitor, dan yang dibunuh itu termasuk 8 anak dan 2 wanita.
Aksi kurang ajar pun yang terbaru ditunjukkan para pemukim Israel di Al Aqsa di bulan puasa ini di mana kelompok Yahudi ekstremis menyerbu halaman masjid Al-Aqsa sebagai bagian dari perayaan Paskah mereka, di tengah pengerahan besar-besaran pasukan pendudukan Israel. Koresponden Al Mayadeen melaporkan bahwa pemukim Israel, yang didukung oleh pasukan pendudukan Israel yang bersenjata lengkap melakukan intimidasi dan provokasi. Sebelumnya siswi setingkat SMA di Palestina bernama Hanan Mahmoud Khadou (18) tutup usia akibat luka tembak peluru tentara Israel. Hanan ini berasal dari Desa Faqqua, dekat kota Jenin, Tepi Barat. Pasukan Tel Aviv meletuskan tembakan ke arahnya ketika Hanan berjalan menuju ke sekolah, pada 9 April lalu. Ya, fakta sangat jelas dan, masih banyak lagi kebrutalan-kebrutalan Rezim Zionis Israel yang terkutuk ini dia pertontonkan.
Pertanyaannya, apakah Palestina bukan urusan kita? Untuk apa memikirkan Palestina toh di negeri Indonesia sendiri banyak hal yang harus dibenahi? Ya, ya,ya. Urusan kita mah sekadar minyak goreng yang langka, kisruh bantuan dana desa, dll? Apakah itu? Apakah urusan kita melulu ambisi untuk menggulingkan presiden RI Joko Widodo yang sah secara konstitusional yang nyata-nyata sedang bekerja, yang dituding ini itu tanpa dasar yang jelas selain ingin mengacaukan keadaan dan merebut kekuasaan? Betapa remeh-temeh urusan kita. Maaf! Sesengsara-sengsaranya—kalau memang benar kita sengsara- kita mencari minyak goreng yang langka tentu tidak semenderita warga Palestina yang setiap detik diintimidasi moncong senjata. Semenderita-menderitanya kita yang tak kebagian tunjangan hari raya – kalau dengan itu kita merasa menderita karena kekurangan untuk belanja—tentu tidak sesengsara warga Palestina yang setiap saat selalu dan selalu di bawah bayang-bayang mortir dan rudal Zionis bengis. Ingat! Hampir 75 Tahun para orang tua dan anak-anak Palestina melewati suasana Idulfitri di bawah tekanan penjajahan rezim Zionis Israel. Kita? Paling banter ya belum kebeli baju lebaran atau tak bisa liburan.
Kita? Di saat-saat awal Indonesia butuh pengakuan sebagai bangsa yang merdeka dari penjajahan, justru Palestina menjadi salah satu negara pertama yang mengakui Indonesia kita sebagai Negara merdeka secara de facto, 6 September 1944.
Masalah Palestina ini ujian bagi kebangsaan kita, di mana dan seperti apa posisi kita dalam berdiri membela Palestina. Apakah kita setuju dengan Barat dan beberapa Negara Teluk agar terjadi apa yang disebut dengan “normalisasi atau pengakuan atas kedua Negara dan hidup secara berdampingan antara Negara Israel sang penjajah dan Negara Palestina yang tertindas? Sudah sangat jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia dikatakan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kita harus tegas berempati terhadap nasib bangsa Palestina. Bahkan presiden pertama RI, Bapak Proklamator kita, Ir. Soekarno mengatakan: Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina.. Maka selama itulah, bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”
Itu sudah sangat jelas posisi kita sebagai bangsa dan Negara sejatinya di mana, yakni katakan TIDAK untuk normalisasi. Negara-negara lain yang menginginkan normalisasi sudah sangat jelas sarat kepentingan. Kepentingan mereka semata bisnis, bisnis ekonomi dan senjata. Kita (pemerintah) harus tegas bersikap dan konsisten untuk menolak segala bentuk aneksasi dan penjajahan yang dilakukan Rezim Zionis Israel. Israel harus hengkang dan kemudian mengakui Palestina sebagai Negara yang berdaulat, kepentingannya kepentingan tegaknya hak-hak kemanusiaan sebagai suatu bangsa. Jadi ini sebenarnya tidak berurusan dengan politik identitas keislaman, melainkan persoalan hak-hak kemanusiaan secara menyeluruh yang harus ditegakkan seadil-adilnya, oleh pemeluk agama mana pun, bahkan secara sempit ini tidak berurusan dengan “tanda kutip” kepentingan buzzer kadrun maupun buzzer cebong yang menghendaki normalisasi—kalau ada.
Sejarah panjang penindasan AL QUDS selama 75 tahun di bawah bayang-bayang agitasi, pengancaman, perampasan, aneksasi, menjadi bukti nyata bagaimana kiprah Rezim Zionis Israel yang keukeuh ingin menguasai Palestina dan, tidak bisa dikompromikan dengan sebatas “normalisasi”. Sedangkan bangsa Palestina menjadi bangsa yang tertindas dan tanpa pembelaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara adil dan berprikemanusiaan. PBB cuma menjadi “singa yang mengeong” di kandang Amerika-nya sendiri.
Persoalan Palestina ujian bagi kemanusiaan kita. Seberapa besar rasa empati kita terhadap nasib bangsa Palestina yang dikungkung nestapa. Bagi umat Islam mengambil spirit Islam dalam membela kaum tertindas memang sangatlah diwajibkan. Tetapi jangan sampai jatuh pada sebatas mengedepankan kegiatan politik identitas yang ujung-ujungnya memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan golongan. Ini perkara mendesak seluruh umat manusia, para pemeluk agama apa pun, yang tentunya wajib membela kaum tertindas dan terjajah. Tidak ada agama mana pun yang menganjurkan penjajahan dan penindasan. Ini masalah “nasion-state” yang harus ditegakkan sesuai aturan dan hukum Internasional yang berlaku dalam melindungi kedaulatan suatu bangsa dan Negara.
“Indonesia kita” sejatinya harus konsisten dan dalam posisi jelas: Normalisasi Zionis? No Way.
Penulis adalah wartawan dan sastrawan, Pimpinan Redaksi LINGKARPENA.ID